[Ahmad Hambali Site]

Begitu mereka ada, dunia menjadi tidak sederhana. Setiap kenikmatan menjadi hambar tanpa keikutsertaan mereka. Bagiku, kenikmatan dunia hanya ada, jika mereka juga menikmatinya. Inilah dunia kami, Dunia, dimana tangis, tawa dan bahagia berjalan beriringan

Catatan Pilpres 2009: Antara Janji, Cela dan Kepastian July 9, 2009

Filed under: 1,Catatan — ahmadineia @ 9:36 am
Tags:

Pilpres 2009 telah berlalu, hasilnya, SBY-Boediono dinobatkan sebagai presiden versi quick count. “Kemenangan” ini seakan melengkapi kemenangan Partai Demokrat dalam Pileg 2009 lalu. Namun, sebagai sebuah proses yang menentukan dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, menang atau kalah seharusnya tidak menjadi penting. Tidak saja karena menang atau kalah hanyalah suatu keniscayaan hidup yang paradoksal tapi juga karena kemenangan atau kekalahan dalam sebuah pemilu telah menjadi salah satu elemen penting dalam menyelesaikan perbedaan secara damai dan beradab menuju cita-cita nasional yang lebih luas.

Walaupun masih banyak kekurangan yang harus dibenahi, baik dalam proses, prosedur, capaian, sikap dan prilaku para peserta pilpres 2009, dari hari kehari tidak diragukan, pemilu presiden langsung yang kedua ini telah semakin memperlihatkan hasil yang positif atas berlangsungnya pendidikan politik bagi rakyat. Di masa datang, tentunya semua kekurangan tersebut harus semakin menghilang.

Catatan ini tidak ditujukan untuk menganalisis secara mendalam apa yang terjadi dalam Pilpres 2009, coretan ini hanya bermaksud menegaskan betapa pentingnya membangun cita-cita dalam kerangka yang lebih elegan, hormat-menghormati dan sportif.

Mengapa yang demikian cukup penting, semua tidak lain karena semua orang siap untuk menang, bahagia dan dipuja tapi jelas perlu waktu untuk menerima kalah, menderita dan terhina. Oleh karena itu, akan semakin signifikan untuk memahami makna dibalik tujuan bangsa yang lebih besar sebagaimana semua capres/cawapres selalu menjualnya kepada publik pada setiap sesi kampanye.

Ketika hasil Pileg 2009 lalu mulai jelas kepermukaan, bisa jadi sedikit elit dan politisi yang menjadikannya sebagai pelajaran berharga dalam menghadapi Demokrat dan SBY-nya. Secara sederhana bisa digambarkan bahwa hanya ada dua partai yang mengalami kenaikan suara yaitu Partai Demokrat ddan PKS. Itu artinya terjadi penggembosan suara diseluruh partai lama, baik karena konflik internal maupun faktor lain.

Dengan berbagai faktor tersebut, suara partai Golkar di 2009 paling tidak bocor ke sejumlah kanal partai terutama ke partai Hanura dan Gerindra. Sedangkan PDIP, yang harus mewaspadai kejaran partai Golkar digembosi oleh PDP dan mungkin kehilangan suara dipartai lain. Dalam soal hilangnya suara, PKB dan PPP juga menjadi partai yang cukup menderita, konflik yang didera didua partai ini menyebabkan posisi perolehan suara mereka melorot ke papan tengah dan bawah, bahkan dua partai tersebut tidak lebih baik dari PAN yang karena banyaknya partai yang gembos jadi naik beberapa tingkat.

Terakhir adalah dua pendatang baru (tapi lama) politik Indonesia, yaitu Hanura dan Gerindra yang kedua-duanya digawangi oleh tokoh militer asal Golkar, Wiranto dan Prabowo.

Bagi Hanura posisi sembilan pada Pileg 2009 merupakan level yang pantas mengingat konsolidasi yang cukup lama namun tidak dibarengi oleh belanja iklan dan sosialisasi yang banyak. Berbeda dengan Hanura, Gerindra merupakan partai yang amat merugi terutama dikaitkan dengan belanja iklannya yang cukup fantastis, move-move dan konsolidasi isu yang ditata sedemikian rupa. Tidak hanya itu, pengemasan dan nilai atraktif yang termuat didalam berbagai iklannya, sempat membius berbagai kalangan sehingga tampaknya ‘cukup sukses’ untuk menyeruak dibenak banyak orang menjelang pemilu.

Tapi fakta yang terjadi ternyata berbeda dengan usaha Gerindra dan klan Djojohadikusumo. Iklan yang sempat memenuhi setiap layar kaca masyarakat tersebut hanya mampu mendahului Hanura di posisi delapan. Jelas ini merupakan sesuatu yang diluar perkiraan bukan hanya oleh pengurus partai ‘garuda’ tersebut tapi juga masyarakat lain. Inilah yang kurang lebih sama terjadi pada pilpres 2009, yang diproduk dengan gaya dan hasil yang hampir mirip.

Gerindra dan Prabowo sendiri menurut saya menjadi salah satu pelajaran penting dari sekian hikmah yang termuat dalam pemilu 2009 kita. Gerindra bukan saja menjadi partai yang berani mengirim nilai tawar tinggi kepada partai pemenang pemilu 1999, PDIP untuk memaksakan posisi presiden dalam pasangan koalisi, tapi juga amat dipengaruhi oleh karakter Prabowo yang banyak diceritakan orang sangat percaya diri termasuk dalam memukul lawan-lawan politiknya dalam berbagai kesempatan.

Dengan gayanya yang khas dan tampil menyerang tersebut, sedikit banyak telah menggugah rasa dan kesadaran masyarakat akan profil pemimpin yang selayaknya dimiliki bangsa ini. Lagi-lagi, saya menduga ini yang juga menjadi salah satu pertimbangan pemilih dalam Pilpres 2009. Dengan demikian, sisi baik dari sikap agresif cawapres ini adalah semakin terasahnya rasionalitas dan kehati-hatian masyarakat dalam pemimpin.

Jika Prabowo dan Megawati tetap tidak merubah gaya kampanyenya yang menyerang hingga beberapa kali iklannya ditolak stasiun TV, gelagat yang sama juga terjadi pada JK seiring dengan memanas dan retaknya koalisi SBY dan JK untuk bersanding kembali dalam Pilpres 2009.

Dikitari beberapa tokoh yang sempat memanas-manasi pencalonan JK sebagai presiden, lama kelamaan, gaya kampanye JK langsung menohon setiap kebijakan pemerintahan yang ia sendiri masih menjadi bagian didalamnya. Tidak hanya cukup dengan strike style yang antara lain tercermin pada semboyannya “Lebih Cepat Lebih Baik,” JK juga harus bersitegang dan perang saling klaim dengan SBY mengenai perannya dipemerintahan seperti yang terjadi pada kasus perdamaian Poso, Ambon dan Aceh.

Saking panasnya saling serang diantara keduanya, suatu kali, SBY pun mengeluh dengan menyebut bahwa dirinya sedang dikeroyok dari dua arah. Kejadian itu terus berlangsung dipanggung publik dan dicermati masyarakat babak demi babak tanpa terlewat.

Sementara hari H pencontrengan kian dekat, tak satupun tim sukses kedua calon mau sedikit menoleh kebelakang dan mencermati kurang berhasilnya Gerindra dan Prabowo.  Mereka bahkan berpikir bahwa dengan semakin menjatuhkan pemerintahan, mereka akan semakin banyak menuai simpati masyarakat.

Nyatanya, walaupun baru sebatas quick count, tindakan itu bukan hanya salah tapi juga blunder yang semakin menghilangkan simpati masyarakat. Faktor logistik memang penting, namun pilihan Indonesia hari ini ternyata semakin mengerucut pada personifikasi orang perorang. Tidak ada satu orangpun dapat mewakili pilihan baik materi, simbol-simbol maupun pengaruh-pengaruh lain. Bahkan, di Bantar gebang, tempat deklarasi Mega-Pro yang menurut salah satu stasiun TV, masyarakatnya konon dijanjikan sejumlah jaminan bantuan tetap tidak mampu mendongkrak popularitas Mega. Mega hanya menang di dua TPS di 11 TPS yang ada. JK pun begitu, walaupun konon ia didukung habaib Jakarta, Kiai Cirebon dan Jawa Timur, Peta Jawa ditunjukan membiru.

Menarik pelajaran dari ini semua, kembali teringat dengan budaya bangsa kita yang memang khas timur, yang ramah, sopan santun dan beradab. Di Indonesia, orang merasa wajib mendukung suatu pihak yang terus menerus dizalimi seperti juga pernah terjadi pada Mega ketika dia dizalimi Suharto dan Orde Baru.  Dengan demikian, SBY sesungguhnya telah menjadi pemenang persis ketika lawan-lawannya telah memulai lontaran perang hujat dan caci. Bahkan dalam beberapa hal ia mencoba mengolahnya menjadi sebuah counter strike mematikan.

Pemilu 2009 bisa disebut sebagai pertarungan antara janji dan kepastian, berbagai aspek domestik, regional dan internasional kemudian mulai menguji sebagian pemilih kita. Semua itu diperkaya oleh cita-cita perbaikan yang harus dilandaskan oleh -setidaknya- sebuah kepastian dan kemudahan adaptasi masyarakat terhadap pola lahirnya kebijakan-kebijakan pemerintah. Terlalu gambling, bagi rakyat untuk memulai dari nol dan perlunya mencari pemimpin yang tidak terlalu banyak berhutang pada rakyat juga menjadi ukuran penting pemilu kali ini.

Dengan berbagai pertimbangan tersebut, masih bisa dipahami bila hitung cepat berbagai lembaga survei menunjuk bahwa rakyat masih ingin memastikan suatu keadaan yang mampu dijadikan modal sebagai perubahan yang lebih baik ketimbang segala sesuatunya harus dimulai dari nol. Ini belum termasuk berbagai kalkulasi dan matematika politik yang juga menguntungkan Yudhoyono.

Dengan ‘kemenangannya’, banyak orang berharap, SBY benar-benar memanfaatkan amanah rakyat untuk semakin memperbaiki kinerjanya dengan mengurangi privatisasi aset negara, melepaskan jerat kapitalisme internasional sesegara mungkin, mendukung penuh program pro rakyat, menolak impunitas dan semakin mensejahterakan masyarakat dengan lebih cepat, lebih tepat dan lebih baik.

Selamat memiliki presiden baru, semoga bangsa ini terus bergerak kearah yang semakin baik.

 

Noam Chomsky dan Perjuangan Melawan Neoliberalisme June 15, 2009

Filed under: Artikel — ahmadineia @ 8:58 am
Tags: ,

Robert W McChesney

Neoliberalisme adalah paradigma ekonomi politik yang mendefinisikan jaman kita – ia mengacu pada berbagai kebijakan dan proses di mana segelintir kepentingan swasta diperbolehkan mengontrol sebesar mungkin kehidupan sosial agar dapat memaksimalkan keuntungan pribadi mereka. Awalnya diasosiasikan dengan Reagan dan Thatcher, selama dua dekade neoliberalisme telah menjadi tren ekonomi politik global yang dominan dan diadopsi oleh partai-partai politik di tengah dan banyak partai-partai kiri tradisional* maupun kanan. Partai-partai ini dan kebijakan yang mereka terapkan mewakili kepentingan mendesak para investor yang sangat kaya berupa perusahaan besar yang jumlahnya kurang dari seribu.

Di samping kalangan akademisi dan anggota komunitas bisnis, istilah neoliberalisme kebanyakan tidak diketahui maupun digunakan oleh khalayak luas, terutama di Amerika Serikat. Di sana justru kebalikannya, inisiatif neoliberal dikarakterkan sebagai kebijakan pasar bebas yang mendorong usaha swasta dan pilihan konsumen, menjunjung tanggung-jawab pribadi dan inisiatif bisnis, dan menghabisi tangan mati pemerintah yang tidak kompeten, birokratik dan parasitik, yang tak pernah dapat berbuat baik bahkan bila niatnya baik, dan itu pun jarang ada. Selama satu generasi, upaya-upaya hubungan masyarakat (public relations) telah memberikan istilah dan ide ini aura yang hampir sakral. Hasilnya, klaim-klaim yang mereka ajukan jarang butuh dibela, dan itu dilakukan untuk merasionalisasikan segalanya dari mengurangi pajak bagi kaum kaya dan mempreteli regulasi lingkungan hidup hingga melucuti pendidikan publik dan program-program kesejahteraan sosial. Memang, segala aktivitas yang dapat mengganggu dominasi korporasi terhadap masyarakat, otomatis dicurigai; karena itu akan mengganggu mekanisme pasar bebas, yang diajukan sebagai satu-satunya hal yang dapat mengalokasikan barang kebutuhan dan jasa secara rasional, adil, dan demokratik. Saat tampil paling lihai, para proponen neoliberalisme terdengar seakan-akan mereka melayani rakyat miskin, lingkungan hidup, dan semua orang ketika mereka menerapkan kebijakan atas nama segelintir kaum kaya.

Konsekuensi ekonomi dari kebijakan-kebijakan hampir di mana pun adalah sama, dan tepat seperti yang bisa kita duga: meningkatnya ketimpangan sosial dan ekonomi secara massif, memperparah kesengsaraan negeri-negeri termiskin dan rakyat di dunia secara nyata, bencana bagi lingkungan hidup secara global, ekonomi global yang tak stabil dan bonanza yang tak ada duanya bagi kaum kaya. Dihadapkan pada fakta-fakta ini, para pembela tatanan neoliberal mengklaim bahwa hasil penjarahan terhadap kehidupan rakyat pasti akan menyebar ke massa luas penduduk – asalkan kebijakan neoliberal yang memperparah problem tidak diganggu.

Akhirnya, kaum neoliberal tidak mampu dan tidak menawarkan pembelaan empiris bagi dunia yang sedang mereka buat. Sebaliknya, mereka menawarkan – bahkan menuntut – keyakinan relijius terhadap kebenaran mutlak pasar yang tak diregulasi, yang diambil dari teori-teori abad kesembilan-belas yang sangat sedikit relevansinya dalam dunia nyata. Kartu as terakhir para pembela neoliberalisme, walau demikian, adalah bahwa tidak ada alternatif lain. Masyarakat komunis, demokrasi sosial, dan bahkan negara kesejahteraan yang moderat seperti Amerika Serikat telah gagal, demikian klaim kaum neoliberal, dan para warganya telah menerima neoliberalisme sebagai jalan satu-satunya yang mungkin. Ia mungkin tak sempurna, tapi itulah satu-satunya sistem ekonomi yang mungkin.

Pada awal abad keduapuluh, beberapa kritikus menyebut fasisme sebagai “kapitalisme tanpa sarung tangannya”, artinya fasisme adalah kapitalisme murni tanpa hak-hak demokratik dan organisasi. Faktanya, kita mengetahui bahwa fasisme jauh lebih kompleks dari itu. Neoliberalisme, di sisi lain, memang “kapitalisme tanpa sarung tangan.” Ia mewakili suatu era di mana kekuatan bisnis lebih kuat dan lebih agresif, serta menghadapi oposisi yang lebih tak terorganisir dibandingkan sebelumnya. Dalam iklim politik ini mereka mencoba menyusun kekuatan politik mereka dalam semua lini yang dimungkinkan, dan sebagai hasilnya semakin sulit menentang bisnis – dan hampir tak mungkin – bagi kekuatan non-pasar, non-komersial, dan demokratik untuk dapat bertahan.

Justru pada penindasannya terhadap kekuatan-kekuatan non-pasar ini lah kita melihat bagaimana neoliberalisme beroperasi bukan saja sebagai sistem ekonomi, tapi juga sebagai sistem politik dan budaya. Di sini terdapat perbedaan mencolok dengan fasisme, yang berdasarkan rasisme dan nasionalisme membenci demokrasi formal dan gerakan sosial yang sangat termobilisasi. Neoliberalisme berjalan paling baik ketika terdapat demokrasi elektoral, tapi ketika penduduknya dijauhkan dari informasi, akses, dan forum-forum publik yang dibutuhkan bagi partisipasi bermakna dalam pengambilan keputusan. Sebagaimana dituturkan oleh guru neoliberal Milton Friedman dalam Capitalism and Freedom, karena penciptaan-profit adalah esensi demokrasi, pemerintah mana pun yang mengupayakan kebijakan anti-pasar adalah anti-demokratik, tak peduli sebesar apa pun dukungan rakyat terdidik terhadap mereka. Maka yang terbaik adalah membatasi kerja pemerintahan dalam melindungi kepemilikan swasta dan mempertahankan kontrak perjanjian yang ada, serta membatasi debat politik pada isu-isu yang tak penting. (Persoalan yang penting seperti produksi dan distribusi sumber daya serta organisasi sosial harus ditentukan oleh kekuatan pasar.)

Berbekal pemahaman demokrasi yang sesat ini, kaum neoliberal seperti Friedman tidak keberatan dengan aksi militer penggulingan pemerintahan Allende di Cili yang terpilih secara demokratik, karena Allende mengganggu kontrol bisnis dalam masyarakat Cili. Setelah lima belas tahun berada di bawah kediktatoran yang seringkali brutal dan liar – semuanya atas nama pasar bebas yang demokratik – demokrasi formal dihidupkan kembali pada 1989 dengan konstitusi yang sangat mempersulit, kalau tak bisa dibilang tak memungkinkan, bagi warga negara untuk menentang dominasi militer-bisnis dalam masyarakat Cili. Itulah demokrasi neoliberal secara ringkas: perdebatan remeh-temeh tentang isu-isu yang tak penting oleh partai-partai yang pada dasarnya mengupayakan kebijakan yang sama-sama pro-bisnis, terlepas dari perbedaan formal dan perdebatan kampanye. Demokrasi dibolehkan selama upaya mengontrol bisnis berada di luar pembahasan atau perubahan oleh rakyat, dengan kata lain, selama itu bukan demokrasi.

Sistem neoliberal dengan demikian memiki produk sampingan yang penting dan dibutuhkannya – warga negara yang terdepolitisasi, ditandai oleh apatisme dan kesinisan. Bila demokrasi elektoral hanya berdampak kecil dalam kehidupan sosial, tidaklah rasional memberikannya banyak perhatian; di Amerika Serikat, lahan berkembang-biaknya demokrasi neoliberal, jumlah pemilih dalam pemilihan kongres tahun 1998 mencatat rekor terendah, dengan hanya sepertiga warga dengan hak pilih hadir di tempat pemungutan suara. Walau terkadang ini menjadi kekuatiran partai-partai besar seperti Partai Demokrat AS yang cenderung mengincar suara dari mereka yang dimiskinkan, rendahnya jumlah pemilih cenderung diterima dan didukung oleh kekuatan-kekuatan yang ada sebagai sesuatu yang sangat baik; karena para non-pemilih, bukan kejutan lagi, secara menyolok berasal dari kelas miskin dan pekerja. Kebijakan-kebijakan yang dapat meningkatkan minat pemilih dan tingkat partisipasi segera dikebiri sebelum sampai ke arena publik. Di Amerika Serikat, contohnya, dua partai besar yang didominasi kekuatan bisnis, dengan dukungan komunitas korporasi, telah menolak undang-undang reformasi – beberapa diantaranya mereka caci-maki – sehingga tidaklah mungkin membentuk partai politik baru (yang dapat menarik minat non-bisnis) dan membuatnya efektif. Walaupun sering terlihat adanya ketidakpuasan dengan Partai Republikan dan Partai Demokrat, politik elektoral adalah satu arena di mana konsep kompetisi dan pilihan bebas tidak banyak bermakna. Dalam beberapa aspek, kaliber debat dan pilihan dalam pemilihan umum neoliberal cenderung menyerupai negara komunis berpartai-tunggal daripada suatu demokrasi sejati.

Tapi ini belum mengindikasikan dampak berbahaya neoliberalisme dalam budaya politik yang berpusat pada warga. Di satu sisi, ketimpangan sosial yang ditimbulkan oleh kebijakan neoliberal menghambat segala upaya untuk merealisasikan kesetaraan hukum yang dibutuhkan untuk membuat demokrasi kredibel. Korporasi besar memiliki sumber daya untuk mempengaruhi media dan menguasai proses politik, dan hal itu mereka lakukan. Dalam politik elektoral AS, sebagai satu contoh saja, seperempat dari satu persen warga terkaya di Amerika memberikan 80% dari keseluruhan kontribusi politik individual; sedangkan korporasi menghabiskan lebih banyak uang untuk itu dibandingkan buruh dengan perbandingan sepuluh banding satu. Dalam neoliberalisme ini semua masuk akal; pemilihan umum mencerminkan prinsip pasar, dengan besarnya kontribusi sebanding dengan investasi. Hasilnya, ia memperkuat anggapan bahwa politik elektoral tidak relevan bagi kebanyakan orang dan kekuasaan korporasi tetap terjaga tanpa digugat.

Di sisi lain, agar efektif, demokrasi mengharuskan orang merasakan koneksi dengan sesama warga negara, dan koneksi ini memanifestasikan dirinya melalui beragam organisasi dan institusi non-pasar. Budaya politik yang hidup membutuhkan kelompok-kelompok komunitas, perpustakaan, sekolah umum, organisasi warga, koperasi, tempat pertemuan umum, asosiasi sukarelawan, dan serikat buruh yang memberikan jalan bagi warga untuk bertemu, berkomunikasi, dan berinteraksi dengan sesamanya. Demokrasi neoliberal, dengan konsep pasar uber alles, membidik sektor ini. Bukannya warga negara, ia menghasilkan konsumen. Bukannya komunitas, ia memproduksi mal-mal belanja. Hasil akhirnya adalah masyarakat yang teratomisasi, terdiri dari individu-individu yang terpisah-pisahkan, yang merasakan demoralisasi dan secara sosial tidak berdaya.

Ringkasnya, neoliberalisme adalah musuh utama dan terdepan bagi demokrasi partisipatoris sejati, bukan saja di Amerika Serikat tapi di seluruh penjuru planet, dan ini akan berlanjut di masa depan. Adalah tepat bahwa Noam Chomsky merupakan tokoh intelektual terdepan di dunia saat ini dalam pertempuran merebut demokrasi dan melawan neoliberalisme. Pada tahun 1960an Chomsky adalah kritikus perang Vietnam utama yang berasal dari AS dan, lebih luas lagi, mungkin merupakan seorang analis paling tajam mengenai kebijakan luar negeri AS yang menghancurkan demokrasi, menghanguskan HAM, dan mengedepankan kepentingan segelintir kaum kaya. Pada tahun 1970an, Chomsky (bersama mitra penulisnya Edward S. Herman) mulai melakukan riset tentang cara-cara media berita AS melayani kepentingan elit dan menghambat kapasitas warga negara dalam mengatur secara sungguh-sungguh kehidupan mereka secara demokratik. Buku mereka yang terbit tahun 1988, Manufacturing Consent masih menjadi titik tolak bagi penyelidikan yang serius mengenai kinerja media berita.

Selama tahun-tahun ini Chomsky, yang dapat dikarakterkan sebagai seorang anarkis atau mungkin lebih akuratnya, sosialis libertarian, ialah seseorang yang vokal, berprinsip, serta secara konsisten dan demokratik menentang dan mengritik negara dan partai politik Komunis dan Leninis. Ia mendidik tak terhitung banyaknya orang, termasuk saya sendiri, bahwa demokrasi adalah batu pijakan yang tak bisa dinegosiasikan dalam masyarakat paska-kapitalis apa pun yang patut diperjuangkan atau menjadi tempat kita menjalani hidup. Pada saat bersamaan, ia mendemonstrasikan absurdnya menyama-nyamakan kapitalisme dengan demokrasi, atau berpikir bahwa masyarakat kapitalis, bahkan dalam situasi terbaiknya, akan membuka akses informasi atau pengambilan keputusan yang melampaui kemungkinan yang paling sempit dan terkontrol. Saya ragu bahwa ada penulis lain, kecuali mungkin George Orwell, yang mendekati Chomsky dalam menghimpun secara sitematis kemunafikan kaum penguasa dan para pakar ideologi di masyarakat Komunis dan kapitalis dengan klaim mereka bahwa demokrasi mereka adalah bentuk paling sejati yang dimungkinkan bagi kemanusiaan.

Pada tahun 1990an, semua ragam tema karya politik Chomsky – dari anti-imperialisme dan analisis kritik media hingga tulisan-tulisan tentang demokrasi dan gerakan buruh – telah dikumpulkan, berkulminasi pada karya seperti Profit Over People, tentang demokrasi dan ancaman neoliberal. Chomsky telah banyak berjasa dalam menghidupkan pemahaman tentang persyaratan sosial bagi demokrasi, dengan menarik pelajaran dari Yunani kuno maupun pemikir-pemikir utama dalam revolusi demokratik dari abad ketujuhbelas dan delapanbelas. Sebagaimana dijelaskannya, tidaklah mungkin menjadi proponen demokrasi partisipatoris dan pada saat bersamaan menjadi kampiun kapitalisme atau masyarakat lainnya yang terbagi-bagi dalam kelas. Dalam melakukan penilaian terhadap perjuangan historis riil untuk demokrasi, Chomsky juga mengungkap bahwa neoliberalisme sama sekali bukan hal baru; ia hanyalah versi terkini dari peperangan yang dilakukan oleh segelintir kaum kaya untuk memangkas hak-hak politik dan kekuasaan warganegara dari kaum yang jumlahnya jauh lebih besar.

Chomsky bisa jadi juga seorang kritik terdepan terhadap mitologi pasar “bebas” alami, yakni hymne gembira yang didesakkan ke kepala kita tentang ekonomi yang kompetitif, rasional, efesien, dan adil. Sebagaimana ditunjukkan oleh Chomsky, pasar hampir selalu tak pernah kompetitif. Sebagian besar ekonomi didominasi oleh korporasi yang massif dengan kontrol luar biasa terhadap pasar mereka dan oleh karenanya menghadapi sedikit kompetisi berharga seperti yang digambarkan dalam buku-buku pelajaran ekonomi dan pidato-pidato politikus. Lebih jauh lagi, berbagai korporasi pun adalah organisasi yang secara efektif totaliter, beroperasi menurut garis non-demokratik. Dengan ekonomi kita yang berpusat pada institusi seperti itu, sungguh terkompromikanlah kemampuan kita untuk memiliki masyarakat yang demokratik.

Mitologi pasar bebas juga meyakini bahwa pemerintah adalah institusi yang tak efesian dan harus dibatasi, agar tidak merugikan sihir laissez faire alami pasar. Faktanya, sebagaimana ditekankan oleh Chomsky, pemerintah menempati posisi sentral dalam sistem kapitalis modern. Mereka dengan murah hati menyubsidi korporasi dan bekerja untuk mendorong kepentingan korporasi dalam berbagai lini. Korporasi yang diuntungkan oleh ideologi neoliberal faktanya justru sering munafik: mereka menghendaki dan mengharapkan pemerintah untuk mengucurkan dolar pajak ke mereka, dan melindungi pasar mereka dari kompetisi, tapi mereka ingin diyakinkan bahwa pemerintah tidak akan memajaki mereka atau memberi dukungan atas nama kepentingan non-bisnis, terutama kaum miskin dan kelas pekerja. Pemerintah justru lebih besar dari sebelumnya, tapi di bawah neoliberalisme mereka lebih tidak berpura-pura mengakomodasi kepentingan non-korporasi.

Peran sentral pemerintah dan pembuat kebijakan paling nyata terlihat dalam kemunculan ekonomi pasar global. Apa yang dipresentasikan oleh para ideolog pro-bisnis sebagai ekspansi alami pasar bebas melintasi perbatasan, pada faktanya adalah sebaliknya. Globalisasi adalah hasil dari pemerintah-pemerintah adidaya, terutama Amerika Serikat, yang mendorong kesepakatan-kesepakatan dagang dan perjanjian lainnya ke tenggorokan rakyat dunia untuk memudahkan korporasi dan kaum kaya mendominasi ekonomi-ekonomi bangsa di seluruh dunia tanpa bertanggung-jawab apa pun terhadap rakyat-rakyat bangsa tersebut. Proses ini tampak paling jelas dalam pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia pada awal 1990an dan kini dalam perumusan rahasia atas nama Kesepakatan Investasi Multilateral (MAI).

Sesungguhnya, salah satu ciri paling menyolok dari sistem ini adalah kemampuannya mengebiri diskusi dan debat yang jujur dan terbuka tentang neoliberalisme di Amerika Serikat maupun tempat lainnya. Kritik Chomsky terhadap tatanan neoliberal secara efektif berada di luar jangkauan analisa mainstream meskipun tersedia landasan empiris yang kuat dan berkomitmen pada nilai-nilai demokratik. Di sini, analisa Chomsky tentang sistem doktrinal dalam demokrasi kapitalis menjadi berguna. Korporasi media berita, industri Humas, ideolog-ideolog akademisi, dan budaya intelektual menuliskan sandiwara besar untuk menyajikan “ilusi yang dibutuhkan” agar situasi yang tak dapat ditolerir ini tampil seolah-olah rasional, berlandaskan niat-baik, dan dibutuhkan (kadang perlu tampil diinginkan). Sebagaimana buru-buru ditunjukkan oleh Chomsky, ini bukan konspirasi formal oleh kepentingan besar, karena tak perlu seperti itu. Melalui beragam mekanisme institusional, dikirimkan sinyal-sinyal kepada para intelektual, komentator, dan wartawan, untuk mendorong agar status quo terlihat sebagai pilihan terbaik di antara yang mungkin. Diupayakan pula agar mereka yang diuntungkan oleh status quo dijauhkan dari tantangan. Karya Chomsky adalah seruan langsung bagi para aktivis demokratik untuk membangun kembali sistem media kita agar terbuka bagi perspektif dan penyelidikan anti-korporasi dan anti-neoliberal. Ini juga suatu tantangan bagi semua intelektual, atau setidaknya mereka yang menyatakan berkomitmen terhadap demokrasi, untuk berkaca langsung di hadapan cermin dan menanyakan diri mereka sendiri kepentingan siapa, dan untuk nilai-nilai apa, mereka melakukan pekerjaan mereka.

Deskripsi Chomsky tentang cengkraman neoliberal/korporasi dalam ekonomi, kebijakan, jurnalisme, dan budaya kita begitu kuat dan menimbulkan keprihatinan sehingga bagi beberapa pembaca itu dapat menciutkan nyali. Dalam masa politik yang mendemoralisir ini, beberapa pihak dapat mengambil langkah berikutnya dengan menyimpulkan bahwa kita terjebak dalam sistem yang regresif ini karena, sayangnya, umat manusia praktis tak mampu menciptakan tatanan sosial yang lebih manusiawi, egalitarian dan demokratik.

Faktanya, kontribusi terbesar Chomsky mungkin terletak pada penekanannya pada kecenderungan demokratik yang fundamental dalam rakyat di dunia, dan potensi revolusioner yang tersirat dalam denyut tersebut. Bukti terbaik tentang kemungkinan ini adalah begitu bersusah-payahnya korporasi mencegah berdirinya demokrasi politik yang sejati. Para penguasa dunia memahami secara implisit bahwa sistem mereka didirikan untuk memenuhi kebutuhan segelintir, bukan banyak orang, dan bahwa orang yang lebih banyak tersebut tidak dapat dibolehkan mempertanyakan atau mengubah kekuasaan korporasi. Bahkan dalam demokrasi tambalan yang memang ada, komunitas korporasi bekerja tanpa henti untuk mengawasi agar isu-isu penting seperti MAI tidak pernah diperdebatkan secara umum. Dan komunitas bisnis membelanjakan uang yang sangat banyak untuk menyewa aparat humas untuk meyakinkan rakyat Amerika bahwa yang ada adalah yang terbaik dari segala yang mungkin. Menurut logika ini, kemungkinan perubahan sosial yang lebih baik perlu ditakuti bila komunitas korporasi meninggalkan humasnya dan tak lagi menyogok pemilu, membolehkan media representatif, dan tak keberatan mendirikan demokrasi partisipatoris egalitarian sejati karena ia tak lagi takut pada kekuatan rakyat banyak.

Pesan-pesan neoliberalisme yang paling lantang adalah bahwa tidak ada lagi alternatif terhadap status-quo, dan bahwa umat manusia telah mencapai tingkat yang tertinggi. Chomsky menunjukkan bahwa terdapat beberapa periode lain sebelumnya yang dinyatakan sebagai “akhir sejarah”. Pada tahun 1920an dan 1950an, contohnya, kaum elit AS mengklaim bahwa sistem yang ada berjalan baik dan kejinakan massa mencerminkan kepuasan meluas terhadap status quo. Peristiwa yang terjadi tak lama setelah itu membuat terang benderang ketololan keyakinan tersebut. Dugaan saya adalah bila kekuatan demokratik mencatat sedikit saja kemenangan nyata, darah pun segera mengalir kembali dalam nadi mereka, dan pembicaraan tentang tidak adanya harapan untuk perubahan akan bernasib sama seperti fantasi-fantasi kaum elit sebelumnya tentang kejayaan kekuasaan mereka yang akan berlangsung selama seribu tahun.

Pandangan bahwa tidak ada alternatif yang lebih baik terhadap status quo justru saat ini lebih parah dibandingkan sebelumnya, dalam era di mana terdapat teknologi-teknologi yang susah diterima akal dan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kondisi manusia. Benar bahwa masih belum jelas bagaimana kita dapat mendirikan tatanan paska-kapitalis yang dimungkinkan, bebas, dan manusiawi; pandangan itu memiliki kesan utopia. Tapi tiap langkah maju sejarah, dari pengakhiran perbudakan dan pendirian demokrasi untuk mengakhiri kolonialisme formal, pada titik tertentu harus menaklukkan anggapan bahwa hal tersebut tak mungkin karena belum pernah dilakukan sebelumnya. Sebagaimana ditunjukkan oleh Chomsky, aktivisme politik terorganisir berjasa atas tingkat demokrasi yang kita miliki saat ini, hak pilih universal bagi orang dewasa, hak-hak perempuan, serikat buruh, hak-hak sipil, kebebasan yang kita nikmati. Bahkan bila pandangan tentang masyarakat paska-kapitalis tampaknya tak tercapai, kita tahu bahwa aktivitas politik manusia dapat membuat dunia tempat kita tinggal menjadi sangat manusiawi. Ketika kita mencapai titik tersebut, mungkin kita akan dapat kembali memikirkan tentang pembangunan ekonomi politik yang berdasarkan pada prinsip kerjasama, persamaan, pemerintahan swadaya, dan kebebasan individu.

Hingga saat itu tiba, perjuangan untuk perubahan sosial bukanlah persoalan hipotetik. Tatangan neoliberal saat ini telah menyebabkan krisis politik dan ekonomi yang massif dari Asia timur ke Eropa timur dan Amerika Latin. Kualitas kehidupan di negeri-negeri maju seperti Eropa, Jepang, dan Amerika Utara sangat rapuh dan masyarakatnya berada dalam keresahan yang cukup berarti. Pergolakan besar menghantui tahun-tahun dan dekade ke depan. Terdapat keraguan yang cukup besar tentang kelanjutan dari pergolakan itu, dan sedikit saja alasan untuk memikirkan itu akan otomatis berujung pada resolusi yang demokratik dan manusiawi. Itu akan ditentukan oleh bagaimana kita, sebagai rakyat, mengorganisir diri, merespon, dan beraksi. Seperti dikatakn Chomsky, bila kau beraksi layaknya tak ada perubahaan yang lebih baik, maka kau menjamin bahwa tidak ada perubahan yang lebih baik. Pilihan ada pada kita, pilihan ada pada Anda.

————-

*Kiri tradisional yang dimaksud adalah partai-partai komunis peninggalan perang dingin.

Robert W McChesney ialah seorang profesor Komunikasi di University of Illinois, mantan editor Monthly Review, dan kini aktif dalam Institute of Public Accuracy

——————————————————————————————————— Diterbitkan di Monthly Review, 1 April 1999; diambil dari situs www.chomsky.info Diterjemahkan oleh NEFOS.org

http://nefos.org/?q=node/70

 

Apa Neoliberalisme Itu? Definisi Singkat Bagi Aktivis

Filed under: Catatan — ahmadineia @ 8:54 am
Tags:
Elizabeth Martinez dan Arnoldo Garcia

“Neo-liberalisme” adalah seperangkat kebijakan ekonomi yang meluas sejak sekitar 25 tahun terakhir ini. Walaupun kata tersebut jarang didengar di Amerika Serikat, Anda dapat melihat efek neoliberalisme secara jelas di sini dengan yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.

“Liberalisme” dapat mengacu pada ide-ide politik, ekonomi, atau bahkan relijius. Di AS, liberalisme politik merupakan strategi untuk menghindari konflik sosial. Ia dipresentasikan kepada rakyat miskin dan pekerja sebagai sesuatu yang progresif dibandingkan konservatif atau sayap Kanan. Liberalisme ekonomi berbeda. Politikus konservatif yang mengatakan bahwa mereka membenci kaum “liberal” — artinya dalam hal politik — tidak memiliki masalah dengan liberalisme ekonomi, termasuk neoliberalisme.

“Neo” berarti kita membicarakan jenis baru liberalisme. Jadi apa jenis lamanya? Pemikiran ekonomi liberal menjadi terkenal di Eropa ketika Adam Smith, seorang pakar ekonomi Skotlandia, menerbitkan buku pada 1776 berjudul THE WEALTH OF NATIONS. Ia dan beberapa lainnya mengadvokasikan penghapusan intervensi pemerintah dalam masalah perekonomian. Tidak ada pembatasan dalam manufaktur, tidak ada sekat-sekat perdagangan, tidak ada tarif, katanya; perdagangan bebas adalah cara terbaik bagi perekonomian suatu bangsa untuk berkembang. Ide-ide tersebut “liberal” dalam arti tidak ada kontrol. Penerapan individualisme ini mendorong usaha-usaha “bebas”, kompetisi “bebas” — yang kemudian artinya menjadi bebas bagi kaum kapitalis untuk mencetak keuntungan sebesar yang diinginkannya.

Liberalisme ekonomi berlangsung di Amerika Serikat sepanjang 1800an dan awal 1900an. Kemudian Depresi Besar tahun 1930an membuat seorang pakar ekonomi bernama John Maynard Keynes merumuskan sebuah teori yang menyangkal liberalisme sebagai kebijakan terbaik bagi kaum kapitalis. Ia berkata, pada intinya, bahwa kesempatan kerja penuh (full employment) dibutuhkan agar kapitalisme tumbuh dan itu hanya dapat dicapai bila pemerintah dan bank sentral melakukan intervensi untuk meningkatkan kesempatan kerja. Ide-ide ini banyak mempengaruhi program New Deal Presiden Roosevelt — yang sempat memperbaiki kehidupan banyak orang. Keyakinan bahwa pemerintah harus menomorsatukan kepentingan umum diterima secara meluas.

Tapi krisis kapitalis selama 25 tahun terakhir, dengan penyusutan tingkat profitnya, menginspirasikan para elit korporasi untuk menghidupkan kembali liberalisme. Inilah yang menjadikannya “neo” atau baru. Kini, dengan globalisasi ekonomi kapitalis yang pesat, kita menyaksikan neo-liberalisme dalam skala global.

Definisi yang berkesan tentang proses ini datang dari Subcomandante Marcos di Encuentro Intercontinental por la Humanidad y contra el Neo-liberalismo (Pertemuan Antar-Benua untuk Kemanusiaan dan Melawan Neo-liberalisme) pada Agustus 1996 di Chiapas ketika ia mengatakan: “apa yang ditawarkan kaum Kanan adalah mengubah dunia menjadi sebuah mal besar di mana mereka dapat membeli kaum Indian di sini, perempuan di sana…” dan ia dapat juga menambahkan, anak-anak, imigran, pekerja atau bahkan seluruh negeri seperti Meksiko.”

Pokok-pokok pemikiran neo-liberalisme mengandung:

1. KEKUASAAN PASAR. Membebaskan usaha “bebas” atau usaha swasta dari ikatan apa pun yang diterapkan oleh pemerintah (negara) tak peduli seberapa besar kerusakan sosial yang diakibatkannya. Keterbukaan yang lebih besar bagi perdagangan internasional dan investasi, seperti NAFTA. Menurunkan upah dengan cara melucuti buruh dari serikat buruhnya dan menghapuskan hak-hak buruh yang telah dimenangkan dalam perjuangan bertahun-tahun di masa lalu. Tidak ada lagi kontrol harga. Secara keseluruhan, kebebasan total bagi pergerakan kapital, barang dan jasa. Untuk meyakinkan kita bahwa semua ini baik untuk kita, mereka mengatakan bahwa “pasar yang tak diregulasi adalah cara terbaik meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yang akhirnya akan menguntungkan semua orang.” Itu seperti ekonomi “sisi persediaan” (supply-side)dan “tetesan ke bawah” (trickle-down) yang dijalankan Reagan — tapi kekayaannya sedemikian rupa tidak banyak menetes.

2. MEMANGKAS PEMBELANJAAN PUBLIK UNTUK LAYANAN SOSIAL seperti pendidikan dan layanan kesehatan. MENGURANGI JARINGAN-PENGAMANAN BAGI KAUM MISKIN, dan bahkan biaya perawatan jalanan, jembatan, persediaan air — lagi-lagi atas nama mengurangi peran pemerintah. Tentunya, mereka tidak menentang subsidi dan keuntungan pajak bagi bisnis besar.

3. DEREGULASI. Mengurangi regulasi pemerintah terhadap segala hal yang dapat menekan profit, termasuk perlindungan lingkungan hidup dan keamanan tempat kerja.

4. PRIVATISASI. Menjual perusahaan-perusahaan, barang-barang, dan jasa milik negara kepada investor swasta. Ini termasuk bank, industri kunci, perkereta-apian, jalan tol, listrik, sekolah, rumah sakit dan bahkan air bersih. Walau biasanya dilakukan atas nama efisiensi yang lebih besar, yang sering dibutuhkan, privatisasi terutama berdampak pada pengonsentrasian kekayaan kepada pihak yang jumlahnya semakin sedikit dan menjadikan khalayak umum harus membayar lebih untuk kebutuhannya.

5. MENGHAPUS KONSEP “BARANG PUBLIK” atau “KOMUNITAS” dan menggantikannya dengan “tanggung-jawab individu.” Menekan rakyat yang termiskin dalam masyarakat untuk mencari solusi sendiri terhadap minimnya layanan kesehatan, pendidikan dan keamanan sosial mereka — kemudian menyalahkan mereka, bila gagal, karena “malas.”

Di penjuru dunia, neo-liberalisme didesakkan oleh institusi-institusi finansial besar seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia (World Bank) dan Bank Pembangunan Inter-Amerika. Ia merajalela di penjuru Amerika Latin. Contoh pertama pelaksanaan neoliberalisme secara terang-terangan terdapat di Chile (berkat pakar ekonomi Universitas Chicago, Milton Friedman), setelah kudeta dukungan-CIA terhadap rejim Allende yang dipilih rakyat pada 1973. Negeri-negeri lainnya menyusul, dengan sebagian dampak terburuknya di Meksiko, di mana upah menurun 40-50% dalam tahun pertama NAFTA sementara biaya hidup naik 80%. Lebih dari 20.000 bisnis kecil dan sedang menderita kebangkrutan dan lebih dari 1000 perusahaan milik negara diprivatisasi di Meksiko. Sebagaimana dikatakan oleh seorang akademisi “Neoliberalisme berarti neo-kolonisasi Amerika Latin.”

Di Amerika Serikat neo-liberalisme menghancurkan program-program kesejahteraan; menyerang hak-hak buruh (termasuk semua pekerja migran); dan memangkas program-program sosial. “Kontrak” Partai Republikan terhadap Amerika adalah murni neo-liberalisme. Para pendukungnya bekerja keras menolak perlindungan terhadap anak-anak, pemuda, perempuan, planet itu sendiri — dan mencoba menipu kita agar menerimanya dengan mengatakan bahwa ini akan “menyingkirkan beban pemerintah dari pundak saya.” Pihak yang diuntungkan oleh neo-liberalisme hanyalah minoritas rakyat dunia. Bagi mayoritas besarnya ia membawa lebih banyak penderitaan daripada sebelumnya: menderita tanpa capaian kecil yang susah payah dimenangkan dalam 60 tahun terakhir, penderitaan tiada henti.

————-

Elizabeth Martinez telah lama dikenal sebagai aktivis hak-hak sipil dan penulis beberapa buku termasuk “500 Years of Chicano History in Photographs.”

Arnoldo Garcia adalah anggota Comite Emiliano Zapata yang bermarkas di Oakland dan berafiliasi dengan Komisi Nasional untuk Demokrasi di Meksiko.

Kedua penulis adalah anggota Jaringan Nasional untuk Hak-hak Imigran dan Pengungsi; mereka juga menghadiri Pertemuan Antar-Benua untuk Kemanusian dan Melawan Neoliberalisme, yang digelar 27 Juli – 3 Agustus 1996 di La Realidad, Chiapas

———————————————————————————————————
Diambil dari CorpWatch
Diterjemahkan oleh NEFOS.org

http://nefos.org/?q=node/68